PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER "HASAN HANAFI"
Baca juga ulasan artikel tentang Pertamina Solusi Bahan Bakar Berkualitas dan Ramah Lingkungan Indonesia Sejahtera.
JUDUL BUKU : Pemikiran Aqidah Humanitarian Hasan Hanafi
PENGARANG : Asmuni M. Thaher
HALAMAN : 130-132
RESUME
Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo. Di masa kecilnya
Hanafi telah berhadapan dengan berbagai kenyataan pahit yang diderit
masyarakatnya akibat penjajahan dan dominisi pengaruh bangsa asing. Sejak kecil
pula, Hanafi telah terlibat dalam berbagai aktivitas sosial politik, bahkan
pada usia belasan tahun, dia sudah mendaftarkan diri sebagai sukarelawan perang
melawan Israel tahun 1948. Sejak saat ini hingga meletusnya revolusi di Mesir
tahun 1952. Hanafi menyaksikan banyak hal yang menyakitkan seperti pembantaian
para pejuang oleh tentara Inggris dan konflik internal dalam tubuh masyarakat
Mesir, khususnya pemuda Islam.
Kekecewaan-kekecewaan sosial politik ini membawanya untuk beralih
konsentrasi mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan
sosial. Satu gebrakan yang cukup mendasar dari dia, yaitu upayanya untuk
melakukan telaah ulang (rekonstruksi) terhadap khazanah klasik sebagai dasar
berpijak dalam melakukan sebuah revolusi.
Upaya rekonstruksi khazanah klasik ini, dibangun atas asumsi dasar bahwa
bagian-bagian tertentu perlu dimodifikasi, disamping ada bagian-bagian lain
yang perlu dikembangkan. Hanafi sendiri dalam menyikapi warisan (turats)
ulama klasik ini cenderung mengambil sikap yang beragam, sesuai dengan
keyakinannya bahwa pahamatau aliran yang menurutnya paling relevan untuk
dikembangkan saat ini.
Dalam hal ilmu kalam misalnya, Hanafi melihat pola berpikir Mu’tazilah
perlu dipopulerkan kembali karena sifat rasionalnya. Sebaliknya, dia melihat
tradisi Asy’ariyah yang menurutnya telah mapan selama berabad-abad di dunia
Islam harus dibongkar. Sistem Mu’tazilah, dipandang sebagai refleksi gerakan rasionalisme,
naturalisme, dan kebebasan manusia. Sedang system Asy’ariyah dianggap bertanggung jawab atas
kemandegan pemikiran umat.
Dalam tradisi filsafat, Hanafi lebih mengikuti pandangan Ibn Rusyd
sehingga ia menghindarkan illuminasi dan metafisika. Ia lebih cenderung
mendukung optimalisasi penggunaan rasio untuk menganalisis alam. Pembelaannya
terhadap filsafat rasional rintisan al Kindi yang memandang filsafat sebagai
dasar agama, mengeksplorasi hukum alam demi kemaslahatan umat memaksanya untuk
mengkritik filsafat illuminasi dan metafisika yang dikembangkan Ibnu Sina dan
al Farabi.
Komitmennya pada pemikiran rasionalistik ilmiyah ini membawa Hanafi
sampai pada kesimpulan untuk menolak sufisme yang baginya sufisme ini adalah
akar dekadensi umat Islam. Pola pikir sufisme ini pula yang dianggapnya telah
mengubah Islam dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi gerakan
vertikal yang keluar dari kehidupan dunia. Islam yang semula menjadi cita-cita
kesejarahan diubah menjadi cita-cita ahistoris. Akibatnya, Islam yang awalnya
merupakan milik umat diubah menjadi eksklusif miliki segelintir pengikut
tarekat.
Meski demikian, Hanafi menegaskan bahwa secara umum pemikiran akidah
klasik terlalu teoritis, elitis, dan konsepsional yang statis. Hanafi
menginginkan doktrin akidah yang bersifat antroposentris, praktis, populis,
transformatif, dan dinamis. Untuk mentransformasikan ilmu-ilmu serta pemikiran
klasik menjadi ilmu atau pemikiran yang bersifat kemanusiaan (humanitarian),
ada tiga langkah yang ditawarkan oleh Hanafi:
Pertama, langkah dekonstruksi.
Langkah ini dilakukan dengan menjelaskan aspek isi, metodologi, dan juga
penjelasan terhadap konteks sosio-historis yang melatarbelakangi kelahirannya,
serta perkembangannya saat ini. Kemudian, memberikan penilaian atas
kelebihandan kekurangannya, juga bagaimana fungsinya di masa sekarang. Kedua, langkah rekonstruksi. Langkah
ini dilakukan dengan cara mentransfer teori-teori lama yangmasih dapat
dipertahankan seperti rasionalisme ke dalam perspektif baru yang didasarkan
pada pertimbangan realitas kontemporer. Teori ini selanjutnya dibangun menjadi
sebuah ilmu yang berorientasi kepada kemanusiaan. Ketiga, langkah pengintegrasian. Langkah ini dilakukan dengan
cara mengintegrasikan ilmu-ilmu atau pemikiran klasik dan merubahnya menjadi
ilmu kemanusiaan baru.
Pemikiran akidah humanitarian Hanafi merupakan jeritan dan keluhan
terhadap realitas yang menyakitkan. Realitas yang melukiskan masyarakat Arab
dan Muslim yang kehilangan kesadaran diri, yang rancu pemikirannya, yang salah
dalam memahami qadla dan qadar, tidak mampu membedakan batas-batas kehendak
manusia dan kehendak ilahi. Masyarakat muslim tampak menyerah dan pasrah pada
takdir karena kesalahpahaman mereka dalam memaknai takdir. Mereka mengharapkan
perubahan datang dari atas, dari Allah, atau dari penguasa tanpa
berupaya menciptakan perubahan yang datang dari diri sendiri.
Hanafi menyeru manusia untuk menelusuri asal muasal akidah dengan menggunakan
rasio, hingga tauhid mempunyai ikatan dengan amal nyata, Allah dengan bumi,
dzat ilahiyah dengan dzat insaniyah, sifat-sifat ketuhanan dengan nilai-nilai
humanisme, dan kehendak Allah dengan perjalanan sejarah. Dia mengingatkan umat
bahwa syirik modern (al syirk al muashir) tidak harus dalam tatanan ubudiyah
(ibadah ritual), tetapi dalam tatanan mu’amalah (interaksi manusia dengan
sesama). Fenomena syirik tidak hanya ditandai oleh penyembahan kuburan para
wali dan nabi, tamimah, dan sihir, karena contoh di atas adalah syirik
dalam tatanan ritual formal. Syirik dalam tataran mu’amalah ditandai
adanya kesenjangan yang dalam antara yang kaya dan yang miskin, penjajah dan
kaumtertindas, pemegang kekuasaan dan penjilat yang munafik. Syirik mu’amalah
ditandai pula oleh anggapan manusia, bahwa ada orang lain yang menguasai
dirinya, yang selalu dipuji, dan ditakuti, serta adanya penguasa yang mampu
memelihara bumi dan memberikan keselamatan.
Hanafi mencoba mengungkapkan kebenaran internal akidah (al shidq al
dakhili) dan mempelajari kemungkinan untuk mengimplementasikan kebenaran
itu dalam alam nyata. Hanafi menegaskan bahwa dia tidak mempunyai kecenderungan
untuk membela akidah dari pengaruh orang kafir, karena kecenderungan ini telah selesai
di masa lampau ketika umat ini berjaya, buminya merdeka, dan kehormatannya
dijunjung tinggi. Yang menjadi kecenderungan Hanafi adalah upaya mencari metode
yang mengantarkan akidah menuju kemenangan, kebebasan jiwa manusia dan tanah
serta pembangunan.
Menurut Hanafi, tujuan penelusuran rasional pada akidah bukan untuk
menyerang orang kafir dan membela akidah itu sendiri, tetapi untuk menunjukkan
bukti-bukti kebenaran internal (al shidq al dakhili) akidah dengan cara menganalisa
secara rasional (al tahlil al aqli) pengalaman generasi terdahulu dan cara yang
mereka tempuh untuk mengimplementasikanya. Langkah ini akan mampu memberi
kebenaran eksternal (al shidq al khariji), hingga akidah semakin terbuka
dan diterima orang untuk diterjemahkan dalam dunia.
Pencapaian Hanafi adalah karya besar karena ulama klasik hanya ingin
menegaskan kebenaran akidah dalamtataran realitas danmengajukan argumentasi
ilmiah.Meskipun berangkat dari cita-cita yang sama (menegaskan kebenaran
akidah), tetapi cara yang dipakai Hanafi berbeda dari cara yang ditempuh ulama
klasik. Hanafi tidak menyebut dirinya pengikut ulama salafi, tetapi dalam waktu
yang sama dia tidak mengklaim dirinya sebagai seorang kreator (muhdi).
Hanafi berkata, jika ulama klasik bertujuan memisahkan satu golongan
dari golongan yang lain (al farq bayn al firaq), maka tujuan kita adalah
mempertemukan semua golongan dan kelompok (al jam’u bayn al firaq). Jika
tujuan ulama klasik menjelaskan pendapat kaum muslimin dan perbedaan cara
shalat, maka tujuan kita adalah menjelaskan pendapat kaum muslimin dan kesamaan
cara melaksanakan shalat. Jika tujuan ulama klasik adalah memaparkan berbagai
akidah aliran-aliran kaum muslimin, maka maksud kita adalah mengungkapkan
metode akidah umat dan segala kekuatan sosial politik mereka untuk
mensejahterakan bersama.